Minggu lalu saya mencoba menggunakan kartu sakti sehat andalan Indonesia. Saya mendatangi Puskesmas Kelurahan dekat rumah saya (I don’t want to mention about the exact location).
Saya datang pukul 7 pagi, menaruh kartu sakti di tempat antri dan duduk menunggu. Sekitar jam 8.15 pagi saya dipanggil untuk mengantri lanjutan sesuai dengan Poli yang ingin saya datangi. Kebetulan hari itu saya berniat untuk ke Poli Gigi.
Saya dapat antrian kelima. Saya sempat disalip satu antrian karena saya tidak mengerti bahwa kartu yang telah diberikan dari depan tadi harus diantrikan kembali di poli gigi. Masuklah saya ke ruang perawatan. Seperti biasa, saya menyapa dokter dan suster saat memasuki ruangan poli gigi.
Betapa kaget saya yang ditanya pertama kali adalah :
Dokter (D) : “Kamu pakai apa?”
Saya (S) : “Maksudnya dok?”
D : “Kamu bayar pakai apa?”
S : “Saya pakai BPJS dok.”
Langsung lah berubah perlakuannya. I don’t have to mention the conversation because maybe everyone who use BPJS already felt it. Tapi ada hal-hal yang saya sangat ingat.
D : “Orang mengira BPJS itu Puskesmas, padahal sebenarnya enggak. Puskesmas adalah Mitra BPJS. Bukan kita yang lagi mau ikut BPJS. Tapi kita dipaksa, dipaksa untuk ikut menjadi mitra.”
S : (Manggut-manggut)
D : “Udah sekolah mahal-mahal, lama lagi eh bayarannya kecil.”
In my opinion, kalau masih ada yang berpikiran untuk kepentingan pribadi, kita nggak akan pernah bisa maju dan jadi negara besar. Mungkin ada proses yang missing, seperti 5W + 1H yang menyebabkan mengapa harus ada BPJS dsb.
Mencemooh segala hal buruk negaramu, sama saja kamu mencemooh dirimu sendiri.
Saya sebagai orang yang hanya coba-coba mencoba pakai kartu andalan ini merasa kapok dan merasa perlu memproteksi diri saya sendiri dengan asuransi kesehatan lainnya. Beruntung saya memiliki pilihan untuk tidak memakainya, namun apabila orang yang sangat membutuhkan diperlakukan seperti itu, apakah hatinya tidak sakit?
Cheers,
Sabila